Sabtu, 22 Oktober 2016

Sejumlah PR yang Belum Dituntaskan di 2 Tahun Pemerintahan Jokowi-JK


Jakarta - Banyak pihak yang mengapresiasi capaian dalam 2 tahun pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla. Berbagai program seperti percepatan infrastruktur, pembangunan yang tidak Jawa sentris, pemangkasan birokrasi yang ribet, pelaksanaan program tax amnesty, hingga pemberantasan terorisme, dan masih banyak lagi.

Namun di antara pujian-pujian tersebut, masih banyak juga PR yang harus diselesaikan Jokowi-JK dalam sisa 3 tahun kepemimpinan mereka. Mulai dari persoalan pangan, perekonomian, kepercayaan politik, kepastian hukum hingga perlindungan warga negara masih harus dituntaskan.

Aspek yang banyak disorot adalah terkait perekonomian dan politik. Meski di sisi lain, berbagai upaya yang telah dilakukan di masa pemerintahan Kabinet Kerja ini juga berujung untuk peningkatan ekonomi. 
Berikut beberapa aspek yang dinilai belum tercapai selama 2 tahun Jokowi-JK, seperti yang dirangkum detikcom, Jumat (21/10/2016):

Berdasarkan catatan BPS, impor beras naik hampir 5 kali lipat pada tahun ini. Sepanjang Januari-September, beras impor yang masuk sebesar 1,14 juta ton. Sedangkan untuk periode yang sama tahun lalu sebesar 229.611 ton.
Menurut Kementan, tingginya impor beras ta
hun ini hanya berupa beras premium untuk kebutuhan hotel, restoran, dan kafe. Namun demikian, menurut Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI), Bustanul Arifin, impor beras premium yang melonjak tajam tersebut menjadi indikasi Kementan abai melakukan pendampingan kepada petani.

Fokus kualitas beras dilupakan oleh petani Indonesia. Selain itu, banyak ketidakefisienan dalam metode bertani, terbukti dengan tingginya harga beras dalam negeri dibanding beras-beras dari negara lain di Asia Tenggara.

"Banyak ketidakefisienan. Kalah dengan Vietnam dan Thailand. Akhirnya apa? Beras kita jadi lebih mahal," terang Bustanul.

Selain beras, sepanjang periode Januari-Juli 2016, komoditas pangan yang paling besar nilai impor antara lain impor gandum Indonesia tercatat sebesar US$ 1,49 miliar, gula US$ 937 juta, kedelai US$ 571 juta, beras US$ 447 juta, susu US$ 248 juta.

Kemudian impor daging lembu US$ 236 juta, bawang putih US$ 210 juta, jagung US$ 159 juta, garam US$ 41 juta, terigu US$ 30 juta, cabai US$ 20 juta, dan minyak goreng US$14 juta.

Sementara itu, berdasarkan data dari Global Food Security Index, meski sudah naik 5 poin, saat ini peringkat ketahanan pangan Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara ASEAN lain seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam. Dari 113 negara, Indonesia berada di peringkat 71. Sementara Vietnam di peringkat 57, Malaysia 35, Thailand 51.

Selain peringkat ketahanan pangan, pihaknya juga menyoroti angka impor pangan yang masih tinggi setiap tahunnya. Impor beras bahkan nilai impor periode Januari-Juli, sudah melebihi angka impor setahun penuh pada 2015 lalu.

Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai dalam dua tahun terakhir, pemerintahan Jokowi-JK belum berhasil memulihkan kepercayaan publik kepada institusi demokrasi terutama parpol dan parlemen.

Dalam konteks pemilu yang demokratis misal, kemandirian KPU terancam karena adanya ketentuan baru dalam UU Pilkada yang mewajibkan KPU dan Bawaslu berkonsultasi dengan pemerintah dan DPR dalam membuat Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu yang kesimpulan bersifat mengikat. Bukti paling nyata dari hilangnya independensi KPU akibat aturan itu adalah saat pengesahan Peraturan KPU tentang Pencalonan. Yaitu soal ketentuan tentang terpidana percobaan bisa mencalonkan diri dalam Pilkada. KPU menolak, namun DPR bersama pemerintah setuju.

Soal RUU Pemilu sebagai payung hukum pemilu serenak 2019 ini, Surat Presiden (Surpres) untuk memulai pembahasan tak kunjung ditandatangani Presiden Jokowi dengan alasan kesibukan di daerah. Padahal jika belajar dari UU Pilkada, draf RUU itu sangat kompleks yang harus dibahas sesegera mungkin.

"Termasuk pula upaya membangun institusionalisasi partai politik yang kuat melalui penguatan bantuan keuangan negara untuk partai politik sebagai upaya menghindarkan parpol dari dominasi oligarki, belum juga bisa terealisasi dengan alasan kemampuan keuangan negara," terang Titi.

Soal kenaikan dana parpol itu sudah sangat lama jadi wacana tapi tak terealisasi, salah satunya karena memicu pro kontra. Namun saat ini Presiden Jokowi telah memerintahkan Mendagri untuk melakukan kajian soal besaran kenaikan yang dihitung per satu suara itu.

Penyanderaan 14 ABK WNI oleh kelompok militan Abu Sayyaf begitu menyita perhatian publik di awal hingga menjelang pertengahan 2016. Pemerintah Indonesia mengedepankan upaya negosiasi terhadap kelompok penyandera, karena Filipina tak memperbolehkan operasi militer dari negara lain.

Berkat kegigihan menghadapi kelompok Abu Sayyaf, akhirnya seluruh WNI bebas. Pemerintah menyebut pembebasan ini sama sekali tidak menggunakan uang tebusan, melainkan murni negosiasi. Meski kala itu Presiden RI ke-5 Megawati Soekarno Putri menyebut, sandera WNI berhasil dilepas karena pemerintah memenuhi uang tebusan yang diminta oleh kelompok penyandera.

Setelah menghirup nafas lega, WNI kembali disandera kelompok bersenjata di Filipina Selatan yang diduga faksi Abu Sayyaf. Tujuh WNI tersebut merupakan ABK dari Kapal Charles 001, dan disandera di sekitar Laut Sulu, Filipina.

Penyanderaan terjadi pada Senin, 20 Juni 2016 siang dan terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama membawa tiga ABK lalu kemudian kelompok kedua datang dan membawa empat ABK. Sedangkan enam ABK yang lain dibiarkan bebas.

Pada 10 Juli 2016, 3 WNI diculik oleh kelompok Apo Mike yang diduga bagian dari kelompok Abu Sayyaf. Kali ini lokasi penculikan di wilayah Malaysia.

Secara bertahap, 9 WNI sudah bebas dengan berbagai cara. Ada yang berhasil melarikan diri, ada juga yang hasil kesuksesan negosiasi dengan penyandera.

Sampai saat ini masih ada 2 WNI lagi yang berada di tangan kelompok Abu Sayyaf. Pemerintah harus terus upayakan negosiasi untuk membebaskan keduanya dan agar penyanderaan tidak terulang.

Menurut peneliti INDEF, Eko Listiyanto, berdasarkan hasil berbagai lembaga survei, daya saing Indonesia tahun ini menurun. Peringkat Global Competitiveness Index semakin turun sejak 2 tahun yang lalu.

Menurutnya, banyak pilar-pilar penyokong GCI yang mendapat rapor merah. Misalnya, di sektor kesehatan dan pendidikan dasar.

"Tahun lalu (pendidikan dasar) peringkat 80 sekarang lompat ke 100. Kemudian dari sisi efisiensi, terutama ada yang bagus namun ada yang meningkat," kata Eko dalam diskusi di kantor INDEF, Jalan Batu Merah 45 Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Kamis (20/10).

"Tetapi yang menarik yang turun adalah good market eficiency. Pasar kita semakin tidak efisien. Dan terakhir innovation andsophistication factor kita menurun," imbuhnya.

Presiden Jokowi mengaku mendapat banyak aduan dari para investor terkait rumitnya perizinan di Indonesia. Dia mengakui, indeks kemudahan di Indonesia memang masih sangat jauh tertinggal.

Untuk itu, dia meminta kepada kepala daerah seluruh Indonesia untuk memperhatikan masalah ribetnya izin ini dan mencari solusinya. Mekanisme perizinan harus dibuat lebih praktis dan efisien, serta praktik-praktik pungli harus dihapuskan.

"Saya baru saja tadi pagi bertemu dengan investor. Mereka hitung izin itu hampir 2.000. Lembarnya bisa mencapai 20 ribu lembar. Kalau dari pusat diurutkan sampai ke daerah. Kalau terus-terus seperti ini,investor tidak akan tahan," kata Jokowi.

"Sehingga indeks daya saing kita, indeks kemudahan berusaha di Indonesia, betul-betul memang masih jauh sekali. Ease of Doing Business, rankingnya masih 109. Sebelumnya 120, kemudian loncat sedikit jadi 109. Malaysia 18 dan Thailand 49. Saya sampaikan berulang-ulang supaya kita bisa melihat diri kita sendiri bahwa izin ini harus segera disederhanakan dan disimpelkan," tambahnya.

Jokowi mengatakan, jika rumitnya perizinan itu masih terjadi, maka Indonesia tak akan dilirik oleh para investor. Akibatnya, Indonesia susah untuk maju.

"Mulai minggu depan kita akan konsentrasi di situ, yang syarat bisa menjadi izin, rekomendasi teknis seperti mengurus izin," tambah Jokowi.

(kff/rna)


Source : http://news.detik.com/berita/d-3325949/sejumlah-pr-yang-belum-dituntaskan-di-2-tahun-pemerintahan-jokowi-jk/6

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.